skip to main |
skip to sidebar
*Hadits-Hadits Dhaif & Maudhu Yang Banyak Beredar Pada Bulan Ramadhan*.
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
HADITS PERTAMA
Tentang Ganjaran Orang Yang Melaksanakan Ibadah Puasa Dan Shalat Tarawih
عَنِ النَّضْرِ بْنِ شَيْبَانَ قَالَ لَقِيتُ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
فَقُلْتُ حَدِّثْنِي بِحَدِيثٍ سَمِعْتَهُ مِنْ أَبِيكَ يَذْكُرُهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
قَالَ نَعَمْ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ شَهْرَ رَمَضَانَ
فَقَالَ شَهْرٌ كَتَبَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ
فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
"Dari Nadhir bin Syaibân, ia mengatakan, 'Aku pernah bertemu dengan Abu
Salamah bin Abdurrahman rahimahullâh, aku mengatakan kepadanya,
'Ceritakanlah kepadaku sebuah hadits yang pernah engkau dengar dari
bapakmu (maksudnya Abdurraman bin 'Auf radhiyallâhu' anhu) tentang
Ramadhân.' Ia mengatakan, 'Ya, bapakku (maksudnya Abdurraman bin 'Auf
radhiyallâhu' anhu) pernah menceritakan kepadaku bahwa Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wa sallam pernah menyebut bulan Ramadhân lalu
bersabda, 'Bulan yang Allâh Ta'âla telah wajibkan atas kalian puasanya
dan aku menyunahkan buat kalian shalat malamnya. Maka barangsiapa yang
berpuasa dan melaksanakan shalat malam dengan dasar iman dan
mengharapkan ganjaran dari Allâh Ta'âla, niscaya dia akan keluar dari
dosa-dosanya sebagaimana saat dia dilahirkan oleh ibunya". (HR Ibnu
Mâjah, no. 1328 dan Ibnu Khuzaimah, no. 2201 lewar jalur periwayatan
Nadhr bin Syaibân)
Sanad hadits ini lemah, karena Nadhr bin
Syaibân itu layyinul hadîts (orang yang haditsnya lemah), sebagaimana
dikatakan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh dalam kitab Taqrîb
beliau rahimahullâh.
Ibnu Khuzaimah rahimahullâh juga telah
menilai hadits ini lemah dan beliau rahimahullâh mengatakan bahwa hadits
yang sah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
radhiyallâhu' anhu.
Hadits yang beliau maksudkan yaitu hadits
yang dikeluarkan oleh Imam Bukhâri dan Muslim dan ulama hadits lainnya
lewat jalur Abu Hurairah radhiyallâhu' anhu. Rasûlullâh shallallâhu
'alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa yang shalat (qiyâm Ramadhân atau Tarawih) dengan dasar iman dan mengharap pahala,
maka diampuni dosanya yang telah lalu". Juga ada sabda Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wa sallam dalam hadits shahih riwayat Bukhâri dan
Muslim, yaitu :
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
"Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji dan tidak jima' juga tidak
fasiq, niscaya dia akan kembali seperti hari dia dilahirkan oleh sang
ibu"(HR. Bukhâri dan Muslim)
HADITS KEDUA
Tentang Puasa Itu Setengah Dari Kesabaran
... وَالصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ وَالطُّهُورُ نِصْفُ الْإِيْمَانِ
"Puasa itu setengah kesabaran dan kesucian itu setengahnya iman".
Hadits ini dhaif. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 3519 dalam Kitab
ad-Dâ'awât, juga diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam Musnad beliau
rahimahullâh (4/260 dan 5/363) lewat jalur periwayatan Juraisy an-Nahdy
dari seorang laki-laki bani (suku) Sulaim.
Sanad hadits ini
dha'if, karena Juraisy bin Kulaib ini adalah seorang yang majhûl (tidak
dikenal), sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Madini rahimahullâh
(lihat, Tahdzîbut Tahdzîb, 2/78 karya Ibnu Hajar rahimahullâh).
Hadits dhaif lainnya yang senada yaitu :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الصَّوْمُ , الصِّيَامُ نِصْفُ الصَّبْرِ
"Dari Abu Hurairah radhiyallâhu' anhu, ia mengatakan, "Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Segala sesuatu itu ada
zakatnya. Zakat badan adalah puasa. Puasa itu separuh kesabaran." (HR.
Ibnu Mâjah, no. 1745 lewat jalur Musa bin Ubaidah dari Jumhân dari Abu
Hurairah radhiyallâhu' anhu)
Sanad hadits ini lemah, karena
Musa bin Ubaidah dinilai haditsnya lemah oleh sekelompok ulama ahli
hadits, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tahdzîb, 10/318-320. Beliau
ini seorang yang shalih dan ahli ibadah, akan tetapi lemah dalam
periwayatan hadits.
Al-Hâfizh dalam kitab Taqrîbnya mengatakan, "Dha'if."
Hadits yang sah tentang hal ini adalah riwayat yang menjelaskan bahwa
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda kepada seorang lelaki
dari suku Bahilah dalam hadits yang panjang, dalam hadits yang panjang
tesrbut terdapat kalimat :
صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ رَمَضَانَ
"Berpuasalah pada bulan kesabaran yaitu Ramadhân". (HR Imam Ahmad dengan sanad yang shahih)
Hadits yang lain yaitu hadits yang diriwayatkan lewat jalur Abu
Hurairah radhiyallâhu' anhu dari Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam,
beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda tentang bulan Ramadhân :
شَهْرَ الصَّبْرِ
"bulan kesabaran (Ramadhan)".
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad rahimahullâh (2/263, 384 dan 513), juga
dikeluarkan oleh Imam Nasa'i rahimahullâh (3/218-219). Dan hadits lain
lewat jalur periwayatan a'rabiyûn sebagaimana dalam Majma'uz Zawâid
(3/196) oleh al Haitsami rahimahullâh.
HADITS KETIGA
Tentang Ramadhan Dibagi Tiga
أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ (وفي رواية : ووَسَطُهُ) مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
"Awal bulan Ramadhân itu adalah rahmat, tengahnya adalah maghfirah
(ampunan) dan akhirnya merupakan pembebasan dari api neraka". (HR Ibnu
Abi Dunya, Ibnu Asâkir, Dailami dan lain-lain
lewat jalur periwayatan Abu Hurairah radhiyallâhu' anhu)
Hadits ini sangat lemah. Silahkan lihat kitab Dha'if Jâmi'is Shagîr, no. 2134 dan Faidhul Qadîr, no. 2815
Hadits lemah yang senada dengan hadits diatas yaitu :
عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيّ قَالَ : خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
،فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ : أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ مُبَارَكٌ
،شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ، جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً ، وَقِيَامَهُ تَطَوُّعًا
،مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ
،وَمَنْ أَدَّى فِيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ
وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ ...وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُه رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
"Dari Salmân al-Fârisi radhiyallâhu' anhu, dia mengatakan, "Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wa sallam pernah berkhutbah dihadapan kami pada hari
terakhir bulan Sya'bân. Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda,
'Wahai manusia, sungguh bulan yang agung dan penuh barakah akan datang
menaungi kalian, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih
baik dari seribu bulan. Allâh Subhanahu wa Ta'ala menjadikan puasa (pada
bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya
sebagai amalan sunnah. Barangsiapa yang beribadah pada bulan tersebut
dengan satu kebaikan, maka sama (nilainya) dengan menunaikan satu ibadah
wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa yang menunaikan satu kewajiban
pada bulan itu, maka sama dengan menunaikan tujuh puluh ibadah wajib
pada bulan yang lain. Itulah bulan kesabaran dan balasan kesabaran
adalah surga .... Itulah bulan yang awalnya adalah rahmat,
pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api
neraka .....". (HR Ibnu Khuzaimah, no. 1887 dan lain-lain)
Sanad hadits ini dha'îf (lemah), karena ada seorang perawi yang bernama
Ali bin Zaid bin Jud'ân. Orang ini seorang perawi yang lemah
sebagaiamana diterangkan oleh Imam Ahmad rahimahullâh, Yahya
rahimahullâh, Bukhâri rahimahullâh, Dâru Quthni rahimahullâh, Abu Hâtim
rahimahullâh dan lain-lain.
Ibnu Khuzaimah rahimahullâh sendiri
mengatakan, "Aku tidak menjadikannya sebagai hujjah karena hafalannya
jelek." Imam Abu Hatim rahimahullâh mengatakan, "Hadits ini mungkar."
Silahkan lihat kitab Silsilah ad-Dha'îfah Wal Maudhû'ah, no. 871, at-Targhîb wat Tarhîb, 2/94 dan Mizânul I'tidâl, 3/127.
HADITS KEEMPAT
Tentang Tidur dan Diamnya Orang Yang Berpuasa
الصَّائِمُ فِي عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ رَاقِدًا عَلَى فِرَاشِهِ
"Orang yang berpuasa itu tetap dalam kondisi beribadah meskipun dia tidur di atas kasurnya". (HR Tamâm)
Sanad hadits ini dha'if, karena dalam sanadnya terdapat Yahya bin
Abdullah bin Zujâj dan Muhammad bin Hârûn bin Muhammad bin Bakar bin
Hilâl. Kedua orang ini tidak ditemukan keterangan tentang jati diri
mereka dalam kitab Jarh wat Ta'dil (yaitu kitab-kitab yang berisi
keterangan tentang cela atau cacat ataupun pujian terhadap para rawi).
Ditambah lagi, dalam sanad hadits ini terdapat perawi yang bernama
Hâsyim bin Abu Hurairah al Himshi. Dia seorang perawi yang majhûl (tidak
diketahui keadaan dirinya), sebagaimana dijelaskan oleh adz-Dzahabi
rahimahullâh dalam kitab beliau rahimahullâh Mizânul I'tidâl. Imam
Uqaili rahimahullâh mengatakan, "Orang ini haditsnya mungkar."
Ada juga hadits lain yang semakna dengan hadits diatas yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh Dailami rahimahullâh dalam kitab Musnad Firdaus lewat
jalur Anâs bin Mâlik radhiyallâhu' anhu dengan lafazh :
الصَّائِمُ فِي عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ نََائِمًا عَلَى فِرَاشِهِ
"Orang yang berpuasa itu tetap dalam ibadah meskipun dia tidur di atas kasurnya".
Sanad hadits ini maudhû' (palsu), karena ada seorang perawi yang
bernama Muhammad bin Ahmad bin Sahl. Orang ini termasuk pemalsu hadits,
sebagaimana diterangkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab ad-Dhu'afa.
Silahkan, lihat kitab Silsilah ad-Dha'îfah wal Maudhû'ah, no. 653 dan kitab Faidhul Qadîr, no. 5125
Ada juga hadits lain yang semakna :
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصَمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ
"Tidurnya orang yang sedang berpuasa itu ibadah, diamnya merupakan
tasbih, amal perbuatannya (akan dibalas) dengan berlipatganda, doa'nya
mustajab dan dosanya diampuni". (Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam
Syu'abul Imân dan lain-lain dari jalur periwayatan Abdullah bin Abi
Aufa)
Sanad hadits ini maudhû', karena dalam sanadnya terdapat
seorang perawi yang bernama Sulaiman bin Amr an-Nakha'i, seorang
pendusta. (Lihat, Faidhul Qadîr, no. 9293, Silsilatud Dha'ifah, no.
4696)
HADITS KELIMA
Tentang Do'a Buka
:عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَفْطَرَ قَالَ
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْنَا فَتَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
"Dari Ibnu Abbâs radhiyallâhu' anhu, beliau radhiyallâhu' anhu
mengatakan, "Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, apabila hendak
berbuka, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam mengucapkan : 'Wahai
Allâh! Untuk-Mu kami berpuasa dan dengan rezeki dari-Mu kami berbuka. Ya
Allâh ! Terimalah amalan kami! Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.'"
(Diriwayatkan oleh Daru Quthni rahimahullâh
dalam kitab Sunan beliau, Ibnu Sunni dalam kitab ‘Amalul Yaumi wal
Lailah, no. 473 dan Thabrani t dalam kitab al-Mu’jamul Kabîr)
Sanad hadits ini sangat lemah (dha'îfun jiddan), karena :
Pertama : Ada seorang rawi yang bernama Abdul Mâlik bin Hârun bin 'Antarah. Orang ini adalah sseorang rawi yang sangat lemah.
Imam Ahmad rahimahullâh mengatakan, "Abdul Mâlik itu dha'if."
Imam Yahya rahimahullâh, "Dia seorang pendusta (kadzdzâb)."
Ibnu Hibbân rahimahullâh mengatakan, "Dia seorang pemalsu hadits."
Imam Sa'di mengatakan, "Dajjâl (pendusta)."
Imam Dzahabi rahimahullâh, 'Dia tertuduh sebagai pemalsu hadits."
Ibnu Hatim mengatakan, "Matrûk (orang yang riwayatnya ditinggalkan oleh para Ulama)."
Kedua : Dalam sanad hadits ini terdapat juga orang tua dari Abdul Mâlik
yaitu Hârun bin 'Antarah. Dia ini seorang rawi yang diperselisihkan
oleh para Ulama ahli hadits. Imam Daru Quthni rahimahullâh menilainya
lemah, sedangkan Ibni Hibbân rahimahullâh telang mengatakan, "Mungkarul
hadîts (orang yang haditsnya diingkari), sama sekali tidak boleh
berhujjah dengannya."
Hadits ini telah dilemahkan oleh Imam
Ibnul Qayyim rahimahullâh, Ibnu Hajar rahimahullâh, al Haitsami
rahimahullâh dan Syaikh al-Albâni rahimahullâh dan lain-lain. Silahkan
para pembaca melihat kitab-kitab ; Mizânul I'tidal (2/666), Majma'uz
Zawâ'id (3/156 oleh Imam Haitsami rahimahullâh), Zâdul Ma'âd dalam kitab
Shiyâm oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh dan Irwâ'ul Ghalîl (4/36-39
oleh Syaikh al-Albâni rahimahullâh)
Hadits dhaif lainnya tentang do'a berbuka yaitu :
:عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ
بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
Dari Anas radhiyallâhu' anhu, beliau radhiyallâhu' anhu mengatakan,
"Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, apabila berbuka, beliau
shallallâhu 'alaihi wa sallam mengucapkan: 'Dengan nama Allâh, Ya Allâh
karenaMu aku berpuasa dan dengan rizki dari Mu aku berbuka'".
Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani rahimahullâh dalam kitab al-Mu'jamus Shagîr, hlm. 189 dan al-Mu'jam Ausath.
Sanad hadits ini lemah (dha'îf), karena:
Pertama : Dalam sanad hadits ini terdapat Ismail bin Amar al Bajali.
Dia adalah seorang rawi yang lemah. Imam Dzahabi rahimahullâh mengatakan
dalam kitab adh-Dhu'âfa, "Bukan hanya satu orang saja yang
melemahkannya."
Imam Ibnu 'Adi rahimahullâh mengatakan, "Orang ini sering membawakan hadits-hadits yang tidak boleh diikuti."
Imam Ibnu Hâtim rahimahullâh mengatakan, "Orang ini lemah."
Kedua : Dalam sanadnya terdapat Dâwud bin az-Zibriqân. Syaikh al-Albâni
rahimahullâh mengatakan, "Orang ini lebih jelek daripada Ismail bin Amr
al Bajali."
Sementara itu, Imam Abu Dâwud rahimahullâh, Abu
Zur'ah rahimahullâh dan Ibnu Hajar rahimahullâh memasukkan orang ini ke
golongan matrûk (orang yang riwayatnya ditinggalkan oleh para Ulama ahli
hadits).
Imam Ibnu 'Adi mengatakan, "Biasanya apa yang diriwayatkan oleh orang ini tidak boleh diikuti." (lihat, Mizânul I'tidâl, 2/7)
Hadits Thabrani rahimahullâh ini pernah dibawakan oleh Ustadz Abdul
Qadir Hassan dalam risalah puasa, namun beliau tidak mengomentari
derajatnya.
Masih tentang do'a berbuka, ada hadits dha'if lainnya yang senada yaitu :
:عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
Dari Mu'adz bin Zuhrah, telah sampai kepadanya bahwa Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam
apabila hendak berbuka, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam
mengucapkan : "Ya Allâh karenaMu aku berpuasa dan dengan rizki dari Mu
aku berbuka".
Hadits ini dha'if (lemah). Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Dâwud, no. 2358, al-Baihaqi, 4/239, Ibnu Abi
Syaibah dan Ibnu Sunni. Lafazh hadits ini sama dengan hadits sebelumnya,
hanya beda dalam kalimat awalnya. Hadits ini lemah karena ada dua illah
(penyebab) :
Pertama : Mursal[1], karena Mu'adz bin Zuhrah, seorang tabi'in bukan shahabat Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Kedua : Juga karena Mu'adz bin Zuhrah ini seorang rawi yang majhûl,
tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya selain Hushain bin
Abdurrahman. Sementara Ibnu Abi Hâtim rahimahullâh dalam kitab beliau
rahimahullâh Jarh Wa Ta'dil tidak menerangkan tentang celaan maupun
pujian untuknya.
Sebatas yang saya ketahui, tidak ada satu riwayatpun yang sah tentang do'a berbuka puasa kecuali riwayat dibawah ini :
:عَنِ ابْنِ عُمَرَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Dari Ibnu Umar radhiyallâhu' anhuma, adalah Rasûlullâh shallallâhu
'alaihi wa sallam apabila berbuka puasa, beliau shallallâhu 'alaihi wa
sallam mengucapkan : "Dahaga telah lenyap, urat-urat telah basah dan
pahala atau ganjaran tetap ada insya Allâh".
Hadits ini hasan
riwayat Abu Dâwud, no. 2357; Nasâ'i, 1/66; Daru Quthni, ia mengatakan,
"Sanad hadits ini hasan."; al Hâkim, 1/422 dan Baihaqi, 4/239. Syaikh
al-Albâni rahimahullâh sepakat dengan penilai Daru Quthni terhadap
hadits ini.
Sebatas yang saya ketahui, semua rawi (orang-orang
yang meriwayatkan) hadits ini adalah tsiqah (terpercaya) kecuali Husain
bin Wâqid. Dia seorang rawi yang tsiqah namun memiliki sedikit
kelemahan, sehingga tepatlah kalau sanad hadits ini dinilai hasan.
HADITS KEENAM
Tentang Keutamaan I'tikaf
مَنِ اعْتَكَفَ عَشْرًا فِي رَمَضَانَ كَانَ كَحَجَّتَيْنِ وَعُمْرَتَيْنِ
"Barangsiapa yang beri'tikaf pada sepuluh hari (terakhir) bulan
Ramadhân, maka dia seperti telah menunaikan haji dan umrah dua kali".
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi rahimahullâh dalam kitab beliau Syu'abul
Imân dari Husain bin Ali bin Thâlib radhiyallâhu' anhuma. hadits ini
Maudhû'.
Syaikh al-Albâni rahimahullâh dalam kitab beliau
Dha'if Jami'ish Shaghiir, no. 5460, mengatakan ,"Maudhû.' Kemudian
beliau rahimahullâh menjelaskan penyebab kepalsuan hadits ini dalam
kitab beliau rahimahullâh Silsilah ad-Dha'ifah, no. 518
Hadits dha'if lain yang hampir senada yaitu :
مَنِ اعْتَكَفَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa yang beri'tikaf atas dasar keimanan dan mengharapkan pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat".
Hadits dha'if riwayat Dailami rahimahullâh dalam Musnad Firdaus.
Al-Munâwi rahimahullâh, dalam kitab beliau Faidhul Qadîr, syarah Ja'mi'
Shaghîr (6/74, no. 8480) mengatakan, "Dalam hadits ini terdapat rawi
yang tidak aku ketahui."
HADITS KETUJUH
Tentang Berandai-andai Ramadhan Sepanjang Tahun
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا (فِي ) رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ السَّنَةُ كٌلَّهَا
"Sekiranya manusia mengetahui apa yang ada pada bulan Ramadhân, niscaya
semua umatku berharap agar Ramadhân itu sepanjang tahun".
Hadits ini maudhu'. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullâh, no.
1886 lewat jalur periwayatan Jarîr bin Ayyûb al Bajali, dari asy-Sya'bi
dari Nâfi' bin Burdah, dari Abu Mas'ud al-Ghifari- ia mengatakan, "Suatu
hari, aku mendengar Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam pernah
bersabda , "(lalu beliau menyebutkan hadits diatas).
Imam Ibnul
Jauzi rahimahullâh membawakan hadits di atas dalam kitab beliau
rahimahullâh al-Maudhû'ât, 2/189 lewat jalur periwayatan Jarîr bin Ayyûb
al Bajali dari Sya'bi dari Nâfi' bin Burdah dan Abdullah bin Mas'ud
radhiyallâhu' anhu . kemudian beliau rahimahullâh mengatakan, "Hadits
ini maudhû' (palsu) dipalsukan atas nama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi
wa sallam. Orang yang tertuduh telah memalsukan hadits ini adalah Jarîr
bin Ayyûb.
Yahya rahimahullâh mengatakan, 'Orang-orang ini tidak ada apa-apanya (laisa bi syai-in).'
Fadhl bin Dukain rahimahullâh mengatakan, 'Dia termasuk orang yang biasa memalsukan hadits.'
An-Nasa'i dan Daru Quthni rahimakumullah mengatakan, 'Matrûk (orang yang haditsnya tidak dianggap).'"
Imam Syaukani rahimahullâh dalam kitab al-Fawâ-idul Majmû'ah Fil
Ahâdîtsil Maudhû'ah, no. 254 mengomentari hadits diatas, "Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Ya'la rahimahullâh lewat jalur Abdullah bin Mas'ûd
radhiyallâhu' anhu secara marfuu. Hadits ini maudhû (palsu).
Kerusakannya ada pada Jarîr bin Ayyûb dan susunan lafazhnya merupakan
susunan yang bisa dinilai oleh akal bahwa itu adalah hadits palsu.'
HADITS KEDELAPAN
Tentang Ramadhan Bulan Terbaik Bagi Kaum Muslimin
مَا أَتَى عَلَى الْمُسْلِمِينَ شَهْرٌ خَيْرٌ لَهُمْ مِنْ رَمَضَانَ
وَلَا أَتَى عَلَى الْمُنَافِقِينَ شَهْرٌ شَرٌّ مِنْ رَمَضَانَ
"Tidak ada bulan yang datang kepada kaum Muslimin yang lebih baik
daripada Ramadhân. Dan tidak datang kepada kaum Munafiqin bulan yang
lebih buruk daripada bulan Ramadhân".
Hadits ini dha'if.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullâh (2/330, Fathurrabbani,
9/231-232), Ibnu Khuzaimah, no. 1884 dan lain-lainnya. Semua riwayat ini
melalui jalur periwayatan Katsîr bin Zaid rahimahullâh dari Amr bin
Tamim dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu'
Al-Haitsami
rahimahullâh dalam kitabnya Majma'uz Zawâid, 3/140-141 mengatakan,
"Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullâh dan Thabrani
rahimahullâh dalam kitabnya al-Ausath dari Tamîm dan aku tidak menemukan
riwayat hidup Tamîm." Maksudnya Tamîm (bapaknya Amr) seorang perawi
yang majhûl.
Dalam kitab Mizânul I'tidâl, 3/249, adz Dzahabi
rahimahullâh mengatakan, "Amr bin Tamim dari bapaknya dari Abu Hurairah
radhiyallâhu' anhu tentang keutamaan bulan Ramadhân. Dan dari Amr,
hadits ini diriwayatkan oleh Katsîr bin Zaid. Tentang Amr bin Tamim,
Imam Bukhâri rahimahullâh mengatakan, 'Haditsnya perlu diteliti (Fi
hadîtsihi nazhar)."
Ini adalah salah satu istilah Imam Bukhâri
dalam mengkritik dan menerangkan cacat perawi yang sangat halus akan
tetapi makna dan maksudnya dalam sekali. Apabila Imam Bukhâri
mengatakan, "Fiihi nazhar atau fi haditsihi nazhar, maka perawi itu
derajatnya lemah atau bahkan sangat lemah."
HADITS KESEMBILAN
Tentang Mengqadha Puasa Dengan Cara Berturut-turut
مَنْ كَانَ عَلَيْهِ صَوْمُ رَمَضَانَ فَلْيَسْرُدْهُ وَلاَ يَقْطَعْهُ
"Barangsiapa yang memiliki tanggungan shaum (puasa) Ramadhân, maka
hendaknya dia mengqadha'nya dengan cara berturut-turut dan tidak
diputus-putus (selang-seling)".
Hadits ini dha'if. Hadits ini
diriwayatkan oleh Daru Quthni rahimahullâh dalam sunannya, 2/191-192 dan
al-Baihaqi dalam sunan beliau, 2/259 lewat jalur Abdurrahman bin
Ibrahim al Qâsh dari 'Alâ bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu
Hurairah (ia mengatakan), Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam
bersabda : (seperti hadits diatas).
Sanad hadits ini dha'if (lemah), karena Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh adalah seorang rawi yang dha'if (lemah).
Ad-Daaru Quthni rahimahullâh mengatakan, "Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh adalah dha'îful hadîts (orang yang haditsnya lemah)."
Al Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh dalam kitabnya Talkhishul Habîr
,2/260, no. 920 mengatakan, "Ibnu Abil Hâtim rahimahullâh telah
menerangkan bahwa bapaknya yaitu Abu Hâtim telah mengingkari hadits ini
karena ada Abdurrahman."
Al-Baihaqi rahimahullâh mengatakan,
"Dia (Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh) telah dinilai lemah oleh Ibnu
Ma'in rahimahullâh, Nasa'i rahimahullâh dan Daru Quthni rahimahullâh."
Adz-Dzahabi rahimahullâh dalam kitab Mizânul I'tidâl, 2/545, "Diantara
hadits-hadits mungkarnya adalah ….. (kemudian beliau rahimahullâh
membawakan hadits di atas)
Ada juga hadits dha'if lainnya yang bertentangan dengan hadits dha'if di atas yaitu :
: عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ فِى قَضَاءِ رَمَضَانَ
إِنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإِنْ شَاءَ تَابَعَ
"Dari Ibnu Umar radhiyallâhu' anhuma, beliau radhiyallâhu' anhuma
mengatakan, "Sesungguhnya Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam telah
bersabda tentang qadha' Ramadhân, 'Jika ia mau, dia bisa mengqadha'nya
dengan dipisah-pisah (selang-seling) dan jika dia mau, dia juga bisa
mengqadha'nya secara beturut-turut (tanpa diselang-seling)".
Sebatas yang saya ketahui, sanad hadits ini dha'if karena Sufyaan bin
Bisyr adalah seorang perawi yang majhûl, sebagaimana telah ditegaskan
oleh Syaikh al-Albâni rahimahullâh, karena beliau rahimahullâh tidak
mendapatkan riwayat hidupnya. Kemudian syaikh al-Albâni rahimahullâh
mengatakan, "Ringkasnya, tidak ada satu pun hadits marfu' yang sah yang
menerangkan (mengqadha' shaum Ramadhân) dengan selang-seling dan tidak
juga berturut-turut. Pendapat yang lebih dekat (kepada kebenaran) ialah
boleh mengqadha' dengan cara keduanya, sebagaimana pendapat Abu Hurairah
radhiyallâhu' anhu. (Lihat Irwâ'ul Ghalîl, 4/97)
Demikianlah
beberapa contoh hadits dha'if bahkan sebagiannya maudhu' yang banyak
beredar dan sering diulang-ulang penyampaiannya diatas mimbar pada bulan
Ramadhân. Semoga naskah singkat ini bisa menjadi pengingat bagi kita
untuk tidak lagi menjadikan hadits-hadits diatas sebagai hujjah dalam
beramal. Cukuplah bagi kita dengan mengikuti hadits-hadits shahih atau
hadits-hadits yang layak dijadikan sebagai hujjah.
Semoga Allâh
Ta'âla senantiasa membimbing kita untuk mengikuti Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wa sallam dengan cara mengamalkan hadits-hadits yang
tsabit dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam..
[1]
Hadits mursal yaitu hadits yang diriwayatkan langsung dari Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wa sallam oleh tabi’in tanpa perantara Sahabat.
0 komentar:
Posting Komentar