skip to main |
skip to sidebar
Birrul Walidain
Rasanya, jarum jam di dinding Ummu Muhammad berjalan lambat,
benar-benar lambat untuk sampai ke angka 6 sore. Ummu Muhammad terus
memandangi jarum jam itu, kalau memungkinkan, ia hendak mempercepat
perjalanan jarum jam itu agar segera sampai di waktu Maghrib, agar malam
segera tiba, dan tidak lama lagi ia akan beristirahat.
Itulah
hari pertama Ummu Muhammad sebagai seorang janda, di mana baru kemaren
saja suaminya, Abu Muhammad meninggal dunia dan dikuburkan. Ia
meninggalkan seorang istri, Ummu Muhammad dan seorang anak lelaki,
Muhammad, yang masih sangat kecil, 3 tahun, sebab Abu Muhammad meninggal
dunia dalam usia muda, 26 tahun.
Saat itu, rumahnya masih
diramaikan oleh mereka yang melakukan ta'ziyah. "Bersabar dan relakan
kepergian Abu Muhammad, semoga Allah SWT akan menjadikan Muhammad lelaki
yang berbakti kepada ibunya, sehingga dapat menghapus segala duka dan
nestapa yang mungkin menimpa dirimu", begitu bunyi sebagian do'a yang
diucapkan mereka.
Dan begitulah keadaan Muhammad, ia
menghabiskan masa kecilnya sebagai anak yatim, bersama ibunya yang
sangat sayang kepadanya, sehingga sang ibu itu seakan ayah dan ibu
sekaligus.
Seiring berjalannya waktu, masuklah Muhammad Sekolah
Dasar, dan - subhanallah - semenjak kelas satu, sampai kelas enam,
Muhammad selalu berada pada posisi ranking satu dengan nilai istimewa.
Sebagai rasa syukur, sang ibu membuat "pesta" dengan mengundang para
tetangga dan kerabat, pesta dari seorang janda yang hidup dengan bekerja
di sebuah "perusahaan" kain tenun dengan gaji ala kadarnya untuk
penyambung hidup diri dan putranya, dan itupun dilakukannya di rumah
sendiri, dan setelah selesai ordernya, baru diserahkan kepada
"perusahaannya".
Setelah malam tiba, dan para undangan pulang
ke rumah masing-masing, sang ibu memanggil Muhammad, dan membisikkan
kata-kata: "Putraku Muhammad, kamu sudah mulai tahu bahwa kehidupan
ibumu sangatlah miskin, tetapi saya bertekad untuk terus bekerja menenun
secara mandiri, lalu menjualnya, dan cita-citaku adalah agar engkau
terus melanjutkan studi-mu sehingga engaku lulus sebagai seorang
sarjana, sehingga keadaanmu akan jauh lebih baik di masa mendatang".
Mendengar tekad ibunya, Muhammad menangis sambil merangkul ibunya, dan
dengan kepolosan seorang bocah ia berkata: "Mama, kalau saya nanti masuk
surga, insyaAllah akan aku beritahukan kepada papa, bahwa mama adalah
seorang yang sangat mulia kepadaku".
Mendengar jawaban lugu
seperti itu, air mata Ummu Muhammad tidak dapat dibendung lagi, sambil
tersenyum, ia elus kepala anaknya.
Waktu terus berjalan dan
Muhammad telah lama belajar di sebuah universitas di negerinya dan tidak
lama lagi akan menyelesaikan studinya dan akan menjadi seorang sarjana,
sementara ibunya tetap berprofesi sebagai seorang penenun freeland dan
menjualnya, seakan pekerjaan itu baru ditekuninya semenjak kemaren
sahaja.
Suatu hari, Muhammad melihat satu kondisi yang
membuatnya menangis, ia baru saja tiba dari rumah salah seorang
temannya, ia dapati ibunya tertidur, pada wajahnya tampak garis-garis
ketuaan dan kelelahan yang luar biasa, sementara di tangannya terpekang
benang, kain tenun dan peralatan lainnya. Muhammad menangis, betapa
ibunya telah sedemikian besar berjuang dan berkorban untuk dirinya.
Di malam hari itu Muhammad tidak dapat tidur, dan paginya ia pun tidak
masuk kuliah, bahkan ia bermaksud untuk mengikuti program kuliah di
Universitas Terbuka saja, agar dapat menyambi bekerja guna meringankan
beban ibunya.
Mendengar niatan seperti itu sang ibu marah
besar, dan di antara kalimatnya: "Keridhaanku kepadamu adalah kalau
engkau menyelesaikan studi kesarjanaanmu seperti yang sekarang ini, dan
bukan menjadi mahasiswa UT yang sambilan, dan aku berjanji, kalau engkau
sudah lulus, dan mendapatkan pekerjaan, saya akan meninggalkan
pekerjaanku ini".
Itulah yang kemudian terjadi, dan akhirnya
Muhammad bersiap-siap untuk ikut wisuda dan ia mulai berangan-angan dan
membayangkan mendapatkan pekerjaan agar dapat merehatkan ibunya yang
semakin menua tersebut.
Dan itulah yang terjadi kemudian, begitu lulus, Muhammad langsung mendapatkan pekerjaan.
Muhammad mulai bekerja dan sang ibu mulai menimang-nimang alat tenun
untuk siap-siap ia hadiahkan kepada tetangganya, peralatan yang telah
sekian lama menyertai hidupnya. Muhammad pun mulai menghitung hari-hari
bekerjanya, ia mulai membayangkan gaji pertama yang akan diterimanya, ia
mulai berfikir, untuk apa gaji pertama itu, apakah akan ia pergunakan
untuk mengajak ibunya plesir, jalan-jalan, ataukah gaji itu ia
pergunakan untuk membelikan baju dan perhiasan ibunya?
Selagi
ia berpikir dan melamunkan demikian, tiba-tiba ia dikejutkan oleh
kedatangan ibunya ke dalam kamarnya, dan pada wajahnya tampak kekuningan
tanda kelelahan yang amat sangat, sang ibu berkata: "Muhammad, ibu
merasa sangat letih, aku tidak tahu apa sebabnya".
Tidak lama kemudian sang ibu pingsan.
Muhammad bergegas menolongnya, ia lupa dirinya, lupa pekerjaannya,
hatinya telah ia tumpahkan kepada ibunya, ia bawa ibunya ke rumah sakit
untuk mendapatkan perawatan segera.
Ibunya masuk ruang IGD dan
ia tidak diperkenankan ikut masuk. Dengan panik ia menunggu di luar
ruangan, batinnya tidak pernah berhenti untuk mendoakan kebaikan bagi
ibunya.
Tidak lama setelah itu, ruang IGD terbuka dan ia pun memburu
seorang dokter yang tampak muncul. Sebelum ia bertanya, sang dokter
berkata: "Mas Muhammad, bersabarlah dan relakan kepergian ibumu".
Muhammad kehilangan keseimbangannya, dan terjatuh pingsan, dan itulah takdir Allah yang terjadi.
Setelah sadar, tidak ada pilihan baginya kecuali menerima takdir Allah
SWT, dan ia hantarkan ibunya ke tempat pemakamannya untuk menyusul sang
suami yang telah lama mendahuluinya.
Tibalah hari di mana Muhammad
menerima gaji pertamanya, tapi, apa arti gaji tanpa ibu, apa arti harta
tanpa ia dapat membalas jasanya?
Saat melamun begitu, tiba-tiba
muncul gagasan dalam pikirannya: bagaimana caranya berbakti kepada sang
ibu, walaupun ia telah meninggal dunia, dan akhirnya ia mendapatkan ide
untuk mengkhususkan seperempat gajinya pada setiap bulannya untuk ia
sedekahkan atas nama sang ibu, dan itulah yang kemudian terjadi.
Sudah ratusan sumur ia gali; ada yang di Afrika, ada yang di Asia
(Indonesia, Kamboja, Philipina dan lainnya), semua itu ia lakukan atas
nama ibunya.
Juga sudah ribuah dispenser ia wakafkan di
masjid-masjid, baik masjid-masjid di negerinya maupun di luar negeri,
semua itu atas nama wakaf ibunya.
Pada suatu hari, selagi ia
memasuki masjid kampungnya, ia dikejutkan oleh adanya dispenser di
masjid itu. Ia pukul kepalanya: "Subhanallah, kenapa aku wakafkan
dispenser di masjid lain, sementara masjid tempat aku shalat, justru
tidak mendapatkan bagian! Sehingga keduluan oleh orang lain?!!!".
Selesai shalat ia disalami sang imam, dan ia menjadi terkejut saat sang
imam berkata: "Terima kasih pak Muhammad atas wakaf dispensernya".
Dengan tergagap ia berkata: "Bukan saya yang mewakafkan?!!!".
"Memang bukan pak Muhammad secara langsung, tetapi, Abdullah, putramu
yang mewakafkannya atas nama pak Muhammad!!!". Rupanya, sang anak yang
bernama Abdullah, setiap hari menyisihkan uang jajannya, dan setelah
cukup untuk membeli dispenser, ia serahkan kepada imam masjid untuk
dibelikan dispenser dan atas nama bapaknya.
Abdullah melakukan
hal itu karena selalu melihat perilaku ayahnya yang selalu menyisihkan
gaji, lalu diwakafkan atas nama ibunya. Begitulah keberkahan birrul
walidain, oleh karena itu, lakukanlah birrul walidain, agar putramu juga
berbuat birrul walidain kepadamu, amiin.
0 komentar:
Posting Komentar